Sunday 17 February 2008

INVISIBLE HANDS ... ( 2 ) ...

Buah Salak di Balik Duri
Allah is The Holiest...
Allah is The Richest...
Allah is The Highest...
Allah is The Greatest...
May Allah Bless Us Forever...

Suatu hari di musim kemarau yang panas, si Anak Rakyat Jelata ( Araj ) dengan teman-teman sekelasnya berlarian pulang dari sekolah. Si Araj baru kelas 4 SD saat itu. Jarak antara sekolah dengan perkampungan tempat tinggal Si Araj sekitar 1,5 kilometer. Mereka tidak melewati jalan utama desa karena selain untuk menghindari 'sekeluarga' anjing galak yang dipelihara dan sering dibawa oleh pemilik warung 'aneh' penjual gerabah dari tanah yang suka mengejar anak-anak juga karena jalan lebih panjang, panas dan berdebu ( maklum karena belum di aspal ), tetapi melewati jalan-jalan setapak di sela-sela pepohonan yang rindang di tengah-tengah kampung.

Si Araj hampir tidak pernah jajan saat itu sehingga hari-hari pulang sekolah adalah saat-saat haus dan lapar mendera apalagi di musim panas dengan matahari terik di atas ubun-ubun.
Sepanjang jalan, kadang-kadang mereka berhenti sejenak dan mata saling menyisir ke seluruh sudut tanah bila melewati pohon-pohon buah apa saja dengan harapan bisa menemukan buah buahan yang jatuh yang bisa sedikit mengganjal perut dan melepas dahaga.

Saat perjalanan menyusuri tebing sungai, sampailah si Araj dan teman-temanya di atas lubuk yang cukup dalam yang di atasnya tumbuh serumpun pohon buah salak liar yang sudah cukup besar. Hampir tiap hari saat melewati rumpun pohon salak itu semua teman-teman Si Araj berebut untuk mencari-cari buah salak dengan cara memasukan tangannya di sela-sela duri-durinya yang tajam. Dan sepanjang yang Araj tahu, belum pernah sekalipun teman-teman Araj bisa medapatkan buah salak yang mereka cari. Malah kebanyakan mereka pasti tanganya terluka dan berdarah terkena duri walaupun mereka sudah berhati-hati.

Si Araj sejak dulu tidak mempunyai tabiat untuk berebut dengan kekuatan tenaga atau otot dan tidak pernah diberi kesempatan untuk ikut berkompetisi mencari buah salak tersebut karena mereka melakukanya dengan cepat bak serangan kilat ( blitz kriegs...? ) serta was-was takut ketahuan dan dimarahi oleh si pemilik kebun. Dan dasar masih bocah, mereka juga saling men’celakakan’ dan ‘rivalry/bersaingan’ yaitu kelompok anak lain akan segera ‘menyalak-nyalak’ dengan keras dan ganas bila sekelompok anak ‘sainganya’ kepergok sedang mencuri buah milik orang lain, dengan harapan kelompok ‘si pencuri sainganya’ akan ketahuan dan tertangkap basah oleh si pemilik kebun – kemudian biar orang tuanya malu dan mendapat aib kalau anaknya dilaporkan tertangkap basah ‘mencuri’ --- ini yang paling ditakuti oleh si Araj karena orang tua si Araj sangat 'galak' dan tidak ada kompromi kalau menyangkut akhlak anak-anaknya.

Nah hari itu, seperti biasa teman-teman si Araj berebut untuk saling mendahului mencari buah salak. Dan mereka biasanya melakukanya secara bergantian karena hanya ada satu lubang cukup besar disela-sela rumpun pohon salak itu yang nampaknya terbentuk karena saking seringnya dilewati oleh lengan-lengan siapa saja yang mau mencari salak. Dan mereka sebenarnya juga tahu bahwa kelompok anak-anak lain baru saja mendahului melakukan hal yang sama. Tetapi karena terdorong oleh sifat anak-anak yang selalu ingin mencoba-coba dan juga rasa selalu penasaran karena buah salak saat itu masih termasuk buah langka dan elit-enak rasanya disebabkan mereka jarang memakannya. Dan hari itu, seperti hari-hari biasanya, semua nihil, tak ada satupun anak yang berhasil memperoleh buah salak yang selalu menjadi incaran, idaman dan impian.

Terdorong oleh rasa penasaran, rasa ‘kasihan’ kepada teman-temannya yang selalu gagal dan juga karena Si Araj sendiri ingin menikmati lezatnya buah salak, apalagi saat lapar dan dahaga seperti saat itu, Si Áraj iseng-iseng memasukan tanganya di sela-sela pohon salak itu seperti yang dilakukan teman-temanya setiap hari. Dan ... seolah ada ‘invisible hands’ ... tangan si Araj berhasil masuk ke tengah-tengah rumpun pohon salak itu dengan mudah dan tidak terkena duri-durinya. Dan ‘subhanalloh’ saat jari-jari tangan Si Araj sedang memulai menggapai-gapai sesuatu di balik duri-duri pohon salak itu, tiba-tiba tangan Si Araj ‘menerima’ sebutir buah salak yang besar seolah ada ‘tangan’ yang memberikan dan menggenggamkannya.

Si Araj sendiri bengong, bingung dan ‘takjub’ karena begitu cepat dan mudahnya dia memperoleh buah salak ( yang selalu menjadi incaran semua anak-anak 'nggragas ' ) walau baru sekali itu dia ‘iseng’ ikut-ikutan teman mencari salak dan untuk yang pertama kalinya dalam hidup si Araj ‘memetik’ buah salak langsung dari pohonnya. Dan yang lebih mem’bahagiakan’ dan melegakan adalah Si Araj bisa berbagi dengan teman-temanya ( yang kelihatanya juga pada ikut bengong, penasaran dan keheranan seolah tidak percaya ) untuk menikmati buah salak yang besar, harum dan manis itu bersama-sama
.




Den Haag, 17 February 2008

Thursday 14 February 2008

SOUL - HEALING DEWS ...(2)...

Fiqh, Akhlaq dan Taqwa

Written by Emha Ainun Nadjib
Column Reflection Republika.co. id
Published Dated Sunday 24 June 2001
Accessed Thursday 14 February 2008

Fiqh atau hukum formal itu penting. Tapi, ada yang lebih dari itu dalam kehidupan manusia. Yakni akhlak, atau moral. Yang puncak adalah taqwa, entah apa bahasa Inggris atau Indonesianya.
Kalau Anda sedang jalan, tiba-tiba menjumpai ada seorang anak tergeletak di pinggir jalan karena kelaparan, maka Anda tidak dipersalahkan oleh fiqh serta tidak ada pasal hukum formal negara manapun yang membuat Anda ditangkap polisi. Tapi, menurut pandangan akhlaq Agama atau moralitas sosial, Anda sungguh salah. Apalagi menurut mata pandang taqwa: Anda mungkin dikategorikan bukan manusia.
Syarat rukun shalat adalah niat, terus takbiratul ihram dst... Tidak ada syarat harus khusyuk, sehingga kalau tidak khusyuk maka shalat Anda tidak sah. Jadi fiqh dan hukum formal itu lapisan paling dasar dari moral dan yang paling elementer dari taqwa.
Saya tidak mengatakan fiqh dan hukum formal itu rendah atau tidak penting, melainkan ada yang lebih tinggi, yakni moralitas dan taqwa. Kalau shalat tidak khusyuk, atau setidaknya kurang berusaha untuk khusyuk, berarti tidak sungguh-sungguh menjalankan moral atau akhlak kepada Tuhan. Taqwanya diragukan.
Kalau dalam perspektif zakat, misalnya, ukuran fiqih sangat teknis. Misalnya 2,5 persen. Asal sudah bayar segitu, tak dosa. Tapi tak dosa tidak sama dengan sudah berakhlak. Tak berdosa tidak berarti sudah lulus moral. Peta sosial-ekonomi suatu lingkaran masyarakat memiliki ukuran-ukuran tertentu sehingga kelayakan zakat menurut akhlaq berbeda-beda.
Mungkin baru pantas kalau kita kasih 10%, atau bahkan 50%. Sedangkan terminologi taqwa menganjurkan kepantasan dan logika bahwa yang disebut sudah bertaqwa adalah kalau sudah ikhlas menyerahkan atau menyampaikan kembali segala yang kita miliki kepada yang punya, melalui siapa saja yang Ia kehendaki. Segala sesuatu yang kita punya itu bukan hanya deposito, rumah dan harta benda, tapi juga seluruh diri kita ini. Kalau sudah pada taraf itu, maka kita mengalami Islam: pemasrahan total diri kita kepada Yang Memiliki, Yang Menciptakan dan kemudian yang selama ini meminjamkan kepada kita.
Jadi sebenarnya taqwa itu sangat sederhana dan kelihatan mudah: yakni mengembalikan barang yang kita pinjam kepada pemiliknya. Apa anehnya dan apa susahnya? Kita mungkin keberatan kalau memberikan barang yang kita miliki kepada pihak lain. Tapi ini kan sekedar menyampaikan barang pinjaman kepada yang punya, tidak ada rugi dan keberatan apa-apa.
Tapi bagaimana mau omong moral, akhlaq dan taqwa? Sedangkan hukum yang paling sederhana, elementer dan teknis saja pun susah dilaksanakan di negeri ini. Memang bangsat betul kita ini!
Kebanyakan kita cenderung lebih suka menggunakan sudut pandang pertama, yakni fiqh, atau hukum formal. Tapi ternyata tidak juga. Ada maling yang mencuri di suatu kampung, kontan saja masyarakat langsung memberikan hukuman --entah dengan menggebuki beramai-ramai atau menyeret ke kantor polisi setelah kondisi si maling tadi babak belur, atau membakarnya hidup-hidup. Ada dua orang lelaki kehilangan motor. Investigasi. Datang ke desa yang diduga tempat pencurinya. Sampai di sana malah diteriaki sebagai maling. Orang mengeroyoknya dan dibakar hidup-hidup.
Akhlak sosial yang dewasa melakukan etika untuk menanyakan terlebih dahulu, apa latar belakang dia mencuri. Mungkin karena isterinya akan melahirkan, sementara dia tidak mempunyai uang sama sekali. Karena kepepet dan berjumpa momentum, maka terpaksa dia mencuri. Penanganan terhadap si maling tadi, jika dilihat dari sudut pandang yang kedua ini, si maling tetap dihukum atau diserahkan ke polisi, tetapi masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak itu.
Bila masyarakat kita sudah berada dalam lingkaran taqwa, sebenarnya tidak ada kesulitan dalam mengatasi persoalan-persoalan seperti di atas. Jika si A membutuhkan pertolongan atau bantuan karena isterinya akan melahirkan, maka si A menyampaikan kebutuhannya tadi --secara syariat kepada si B, namun hakikatnya memohon kepada Allah-- sehingga Allah akan memudahkan kepada si A dengan lantaran rizkinya dari si B. Maka, secara batin (hakikat), si A berterima kasih kepada Allah, sedangkan secara lahiriyah (dhohir), dia berterima kasih kepada si B. Dari sini tampak kontinuitas antara dimensi horisontal dengan dimensi vertikal. Bukankah segenap niat dan aktivitas kita selalu berkaitan dengan dua dimensi itu?

Wednesday 13 February 2008

SOUL - HEALING DEWS ...(1)...

Empat Air Menyucikan

Written by Emha Ainun Nadjib
Column Reflection Republika.co.id
File Dated Monday 23 September 2001

Accessed Wednesday 13 February 2008

Ada empat macam idiomatikal air atau cairan,
sebagaimana disebutkan di Al-Quran. Idiomatikal air itu adalah
lambang atas makna syariat Islam ( dalam ibadah ).
Pertama, shalat diibaratkan sebagai air hujan, karena terjadi melalui proses pencahayaan. Melalui pencahayaan sinar matahari yang menyerap air di lautan dan di mana saja, maka terjadilah hujan yang merupakan rahmat-Nya. Maka shalat adalah upaya manusia untuk mencahayai dirinya sendiri, atau tepatnya mendapatkan cahaya Allah. Arti cahaya itu sederhana. Bagi orang yang berdagang, cahaya adalah laba, gelap adalah rugi. Bagi kelangsungan rumah tangga, cahaya adalah stabilitas, harmoni, dan ketenteraman. Bagi negara, cahaya adalah tercapainya keadilan di segala bidang. Orang yang melakukan shalat, belajar mencahayai dirinya sendiri, sehingga berpeluang untuk memercikkan cahaya ke lingkungannya. Metode shalat itu sedemikian rupa kondusif terhadap terciptanya sumber cahaya di dalam diri manusia. Singkatnya, misalnya dimulai dari wudlu: membersihkan isi mulut (supaya jujur), hidung (supaya tidak menjadi pemuka masyarakat yang menyebalkan), telinga (supaya mau mendengarkan), dan seluruh wajah (supaya menjaga integritasnya), tangannya (supaya kinerjanya bagus), kakinya (supaya langkahnya tidak ngawur), dan sebagainya.
Kalau orang kentut, yang dicuci dan dibersihkan bukan pantatnya, melainkan wajahnya. Karena yang merasa malu dan menjadi kotor sesudah kentut bukan pantatnya, melainkan wajahnya. Dalam sujud orang meletakkan wajah dan kepalanya lebih rendah dari pantatnya. Itu suatu workshop tentang derajat kepribadian. Kalau melangkah tak hati-hati, nanti image tentang kita lebih rendah dari pantat kita sendiri. Sekurang-kurangnya 17 kali sehari kita letakkan wajah di bawah pantat itu, dan pada saat sujud itu kita ucapkan 'Maha Suci Allah yang Maha Tinggi'.
Kedua, puasa ibarat air arak (khamr) atau ragi. Dalam puasa sebenarnya terdapat proses 'peragian' sebagaimana yang terjadi dalam proses pembuatan tape. Proses 'peragian' sesungguhnya merupakan metode 'pembersihan' rohani manusia. Puasa, hakikatnya, bukan hanya menahan lapar dan haus serta mengendalikan hawa nafsu seksual saja, tetapi juga menahan dari hal-hal yang mengotori jiwa. Peragian adalah pelembutan. Orang yang berpuasa mengubah dirinya dari karakter ketela menjadi tape. Dari watak wadag kasar menjadi rohani lembut. Dari pemarah menjadi pemaaf. Dari kerdil menjadi arif. Dari sempit menjadi luas. Dari rakus menjadi legawa. Dari penuh nafsu menjadi nothing to loose.
Ketiga, zakat ibarat air susu. Zakat fitrah maupun zakat mal merupakan kewajiban bagi orang Islam yang sudah melampaui batas nishab untuk mengeluarkan zakat (mal) kepada mereka yang berhak menerimanya. Tidak ada kambing yang kepalanya melengkung ke bawah badannya sendiri, karena menyusu putingnya sendiri. Susu kambing bukan milik kambing itu sendiri seluruhnya. Di antara susu yang dimuat di kantungnya, terdapat hak orang lain. Seekor induk kambing yang tengah menyimpan air susu ditubuhnya misalnya, tidak seratus persen berhak atas susunya sendiri, melainkan harus diberikan kepada anak-anaknya. Itu adalah hak anak-anaknya. Bila air susu kambing itu tertahan ditubuhnya, justru menimbulkan penyakit. Jika kewajiban zakat tidak dilaksanakan, hal itu lebih 'berat dosanya' dibanding dosa seorang pencuri. Seorang pencuri biasanya mencuri harta 'orang kaya', sedangkan orang yang tidak membayar zakat ibaratnya orang yang kaya yang 'mencuri' hak orang fakir-miskin.
Adapun keempat, haji, identik dengan air madu. Maknanya adalah orang yang telah 'suci' kembali ke fitrah, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan, sehingga di dalam pergaulan kemasyarakatan selalu memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan kepada dirinya sendiri, keluarga, dan lingkungan lebih luas. Sebagaimana madu yang rasanya manis --yang bentuknya tidak cair maupun padat-- dan memberikan kemanfaatan pada kesehatan tubuh (manusia), maka orang yang ibadah hajinya mabrur, sesungguhnya selalu menjauhi dari hal-hal yang tidak berguna (sia-sia). Sebaliknya orang tersebut senantiasa memberikan hal-hal yang bersifat positif kepada yang lain. Madu bisa dianggap minuman, bisa dianggap makanan, ia meta-kategori. Orang yang berihram dalam haji sudah mengatasi kelelakiannya dan keperempuanannya. Berarti ia menapak ke level rohani, daerahnya Tuhan. Tuhan itu tidak lelaki tidak perempuan. Juga malaikat. Bahkan lebih sederhana dari itu: yang namanya kecerdasan, intelektualitas, visi, gagasan, ide, kearifan, kebijaksanaan, kemuliaan, dan seterusnya, itu semua tidak laki-laki tidak perempuan. Jadi, orang berhaji itu orang paling tinggi pencapaiannya, kalau sungguh-sungguh berhaji. Ia sudah memiliki kedewasaan untuk tidak direkrut oleh berbagai jenis primordialisme hidup: parpol, ormas, golongan, kelompok, atau sentimen-sentimen kekerdilan lainnya yang merepotkan kebersamaan hidup manusia. Mestinya begitu. Tapi yang kita punya adalah Persatuan Haji. Ini suatu golongan, yang berbeda dengan golongan lain, misalnya Persatuan Orang Belum Haji.

Thursday 7 February 2008

INVISIBLE HANDS ... ( 1 ) ...

Seorang Bocah telanjang
dan burung-burung kecil..

Suatu sore di sebuah kampung di kaki perbukitan di Jawa Tengah bagian selatan, seorang anak kecil, sebut saja Si Hamba Sahaja ( Hamsa ) baru pulang mandi dengan adiknya di sungai dekat rumahnya yang sederhana. Dia berjalan pulang sambil berlari-lari kecil karena udara musim kemarau agak dingin dan bertiup keras. Sesekali dia membunyikan terompet tangan yang kadang belum bisa berbunyi sempurna, maklum karena dia baru berumur sekitar 3 tahun. Dia juga tidak mengenakan handuk atau baju hangat atau pakaian apapun. Maklum dia hanya anak orang desa petani biasa yang hidup sangat sederhana dengan ke sepuluh saudaranya yang lain. Mandipun dia tidak memakai sabun atau shampoo karena memang tidak mampu membeli. Dan kalaupun sempat sikat gigi ya hanya digosok dengan pasir sungai yang diambil langsung di dasar air.

Sesampainya di dekat rumah yang dikelilingi pagar hidup seperti pohon teh-tehan dan pohon-pohon bunga sepatu, dia digertak oleh beberapa kakaknya supaya tidak berlari atau bersiul atau berisik apapun karena mereka sedang mengejar-ngejar anak-anak burung Prenjak yang sedang mencari tempat untuk tidur dengan induknya karena memang sudah sore. Untuk menangkap burung-burung itu, mereka juga sudah memasang beberapa perangkap atau jerat, baik tali maupun getah pohon nangka. Karena sedang dikejar-kejar, suara burung-burung itu, terutama induknya, ramai sekali saling bersahut-sahutan. Kakak-kakak Si Hamsa juga tidak kalah ramainya saling mengejar dan memberi aba-aba, kadang diselingi umpatan kekesalan atau kekecewaan karena selalu gagal menangkap burung-burung itu. Kakak-kakak Si Hamsa jelas tidak membolehkan Si Hamsa ikut mengejar karena dianggap masih anak kecil belum tahu apa-apa, malah mereka menganggap si Hamsa hanya mengganggu atau menghalangi saja bila ikut nimbrung.

Si Hamsa hanya berdiri di tempat sambil menyaksikan aksi kejar-mengejar seperti dalam film-film action ( Si Hamsa baru tahu film setelah kelas 2 SMP nonton lewat TV hitam putih milik tetangga yang jam tayangnya sangat dibatasi karena takut lantainya kotor, dan kadang hanya curi-curi nonton lewat jendela yang kadang juga ditutup kordennya…. he he he ). Dan entah karena sudah capai atau kehilangan tenaga, burung-burung itu berhenti berbunyi, hanya sesekali masih terdengar suara anak-anak burung Prenjak itu mungkin memanggil-mangil induknya. Dengan semakin hilangnya suara burung-burung itu, kakak-kakak si Hamsa kelilangan jejak karena hari juga semakin sore dan penglihatan juga semakin susah karena warna burung-burung itu sama dengan warna daun-daun dan ranting-ranting pohon. Kakak-kakak Hamsa akhirnya hanya saling ‘maido’ dan saling menyalahkan. Dan dari cara mereka saling memandang, Si Hamsa bisa merasakan kekecewaan kakak-kakaknya karena gagal menangkap burung-burung kecil itu.

Dan tanpa disuruh, dengan maju mundur takut kalau digertak lagi atau dimarahi kakak-kakaknya, Si Hamsa berinisiatif ikut mencari burung-burung itu. Si Hamsa sama sekali belum pernah menangkap burung saat itu dan tidak mempunyai taktik atau strategi apapun untuk melumpuhkan binatang apapun, maklum masih kecil. …….. Dan seolah ada ‘invisible hands', yang menuntun dan membimbing, Si Hamsa langsung menuju pagar rumah di belakang dapur. Setelah mengamati beberapa saat di rerimbunan pohon bunga sepatu, yang bagi Hamsa cukup tinggi saat itu, Si Hamsa melihat anak-anak burung itu sedang hinggap berdampingan di ranting. Betapa girangnya si Hamsa karena ketika Hamsa mendekat, anak-anak burung itu tidak lari atau terbang, tetapi malah membuka-buka paruhnya sambil menyorong-nyorongkan kepalanya sambil mengeluarkan bunyi-bunyi manja. Si Hamsa semakin takjub ketika burung-burung itu tidak berontak saat tangan Si Hamsa memegang dan menangkapnya. Dan dengan penuh suka cita, Si Hamsa memanggil-manggil kakak-kakaknya kalau burung-burung itu sudah berhasil ditangkap. Tetapi……. Si Hamsa merasa kecewa karena keinginan untuk memelihara burung-burung itu ditolak mentah-mentah oleh kakak-kakaknya. Dan…. Si Hamsa malah sangat menyesal dan menangis sedih telah menangkap burung-burung yang indah dan lucu itu karena burung-burung itu ternyata malah… di…ba…kar…. dan… di…ma….kan… ra…ma..i… ra…ma…i… ( Walaupun sekarang Hamsa paham mungkin kakak-kakak Hamsa sesekali ingin makan yang mengandung protein hewani karena keluarga Hamsa saat itu memang dalam kondisi ‘under survival limits line’ ... )
Den Haag, 07 February 2008

Tuesday 5 February 2008

SAAT-SAAT AIR MATA HANYA BISA MELELEH ( 2 of 9 )

Koloh jenthik, mlongo, ngeleg idu...
Ngayer ayer mbok ana wong sing aruh aruh...
Plolar plolor mbok ana wong sing welas asih...
Klintar klinter mbok ana wong sing duwe ati....
Ngertia bocah bocah cilik esih suci kaya melati...
Aja disia sia utawa dikilani, kabeh mahluke Gusti..

Crita kiye ora bakal bisa kelalen merga saking jerone nelesi kamanungsan wong sih esih duwe ati lan welas asih. Si tukang ngarit ya ora bisa meksa wong liya kon bisa ngrasakna lan njikot hikmahe merga GustiAllah sing kuasa molak malikna micek mbudegna ati lan jiwane menungsa.

Nalika kue si tukang ngarit esih kelas 2 SD. Ya agi seneng senenge dolan, seneng tontonan utawa hiburan merga jaman semono ora duwe radio, ora duwe tape ora duwe TV. Lan jan umur umur agi semega, mendane ana ya hawane kencot lan kepengin mangan bae. Lha wektu semena ana dulur, jere sih kepernah nini, sing lagi mbarang gawe utawa hajatan nyunati anak lanange sing ragil, ya kepernah paman lah. Merga keluargane nini kue kegolong wong sugih...gole duwe gawe geden2an lan nanggap wayang kulit. Dulur2 kabeh sekang desa endi baen pada ngumpul lan rewang-rewang. Panganan mambrah mambrah ngebeki umah, umahe telu cacahe
.

Lha wong jerene kepernah putu....si tukang ngarit karo adine cilik2 telu cacahe, umur 5 tahun, 4 tahun lan 2 tahun ya kepengin melu bungah lan kepengin mangan enak lah. Dilakoni bareng bocah papat mlaku, wong umahe madan adoh, ketimik thimik..malah sing cilik dewek kadang kudu digendong gantian merga mlakune urung lancar esih sempoyongan. Bareng wis tekan nggone ninine kejaba tujuane arep nonton, ya angger duwe duit kepengin tuku jajan lan panganan..merga akeh bakul apa baen…Jaman semana nek ana tontonan nang ndesa ndesa bakul2 akeh banget kaya pasar tiban. Ningen ya langka wong utawa dulur2 sing gelem aweh duit… Dadi kejaba kur mlongo thok nek weruh bocah2 cilik liyane pada tuku jajan lan ngeleg idu thok nek nyawang kanca2ne pada mangan jajan…

Si tukang ngarit ya kadang melas ndeleng adi2ne cilik2 pada kriyap kriyip matane, lha si tukang ngarit ya esih cilik nembe kelas 2 SD. ( La haula wala quwata illa billahil áliyil adzim ). Alhamdulillah si tukang ngarit lan adi2ne ora ana sing duwe watek clamit utawa ora gelem jaluk utawa nyolong. Dadi ya pada kur klintar klinter, mutar muter, arep api api nonton wayange genah ora bisa weruh sebab esih endep endep awake lan urung patia mudeng lakone.

Lha sing nelangsani…., gandeng selot suwe selot kencot wetenge perih tur ya agi semega, si tukang ngarit lan adi2ne ya kadang kadang kumawani nongol lan klintar klinter maring dapur mbok menawa ana sing nawani panganan wong jerene esih kepernah putune si nini sing agi duwe gawe. Ningen…..wong pirang2 kemerab tur ya akeh sing pada ngerti wong jere kepernah dulur ya pada ora ngrewes, langka sing nakoni, langka sing gelem aruh aruh, langka sing nawani utawa langka sing aweh panganan. Si tukang ngarit karo adi2ne ya kur mlongo maning..ngeleg idu thok ngasi gulune lara nahan dada nelangsa ora karuan lan weteng kencot kroncongan. Si tukang ngarit ya kur mrebeses mili matane…..nangis mbatin. Sajroning ati lan sukma, sekang kersane Allah, si tukang ngarit ora dendam lan ora terus due penggalih ala, ora kepengin tumindak ala, kaya dene nguntet, nyolong utawa njaluk-njaluk ngemis kanthi memelas, malah tukul rasa welas asihe sing gede, lewih melas karo adi2ne sing urung ngerti apa2.

Lha sing lewih nelangsani maning, nalika wengine, si tukang ngarit karo adi2ne dijak karo mboke ( gandeng esih cilik2 adi2ne si tukang ngarit ditutna nang mboke, sing cilik dewek diemban sebab kadang2 ngatuk lan turu mbok kepidek wong, adi sing loro maning nggandeng tangan kiwa tengene mboke, lha si tukang ngarit nginthil ngetut mburine) bola bali mlebu maring dapur nggon panganan kaya esuk awan kae, ya jan langka wong sing aruh aruh utawa nakoni. Lha wong sepirang pirang kemerab rame banget, panganan mambrah mambrah koh jan pada ora ana sing melas blas karo si tukang ngarit lan adi2ne. Apamaning koh aweh panganan, nawani thok be ora… padahal si tukang ngarit karo adi2ne ngarep arep banget ana sing nawani utawa sing gelem aweh panganan sebab saya wengi hawane saya kencot. Jaaan…ujar ujare dikancani mboke bisa kaleksanan mangan enak nang umahe ninine sing lagi hajatan….jebule ya nasib….tetep langka wong sing peduli karo si tukang ngarit, langka sing nawani utawa aweh panganan wlo bekas utawa wis mambu sekalipun. Ya akhire si tukang ngarit lan adi2ne sing wis ongap angop kriyap kriyip anu ngantuk lan kencoten, kur mlongo maning, nangis mbathin, mata mrebes mili…tiwas plolar ploror, nganguk anguk, ngayer ayer mbok ana menungsa sing duwe ati lan gelem welas asih…jebule urung ketiban nasib apik. Akhire bocah2 cilik sing urung ngerti dosa, urung mudeng salahe apa kok ngalami lakon sing nelangsani… disewiyah wiyah…wujuduhu kaádamihi….kur koloh jenthik maning ngasi ngiler, ngeleg idu…glzxk glzghx..glxzx….kur bisa sambat karo Sing Maha Welas Asih….
Den Haag, 05 February 2008

SAAT-SAAT AIR MATA HANYA BISA MELELEH ( 1 of 9 )

Cerita cerita berikut ini hanya kilas balik beberapa kisah perjalanan hidup hamba Alloh yang sangat tidak berharga dan sangat tidak mulia ini, bukan untuk jumawa, bukan untuk sumáh, bukan untuk ghibah, bukan untuk riya, bukan untuk sombong, bukan untuk mencari popularitas, bukan untuk mencari simpati atau empati, bukan untuk minta dikasihani, bukan untuk meminta pembelaan dan pembenaran diri dan bukan untuk minta dipuji puji…tetapi sekedar untuk media syukur, mawas diri dan menggali hikmah untuk mendekatkan diri kapada Yang Maha Memberi dan Maha Menyayangi…

Direkadaya ben ora bisa…
Jaman si tukang ngarit nembe kelas 3 SD, jan umur sing jane esih mbutuhna banget bimbingan lan kasih sayang wong tua. Pas ana model raport anyar, kabeh murid2 kon pada ngumpulna foto nggo nglengkapi data pribadi nang halaman ngarep rapot. Lha kanca2ne si tukang ngarit ya pada gipyak ngrengek njaluk dikancani wong tuane utawa kakang mbakyune, paman bibine utawa dulur dulure kon enggal2 foto sing jaman semana anane nang ibukota kabupaten sing adohe ana 15 km sekang desa. Bot bote kepengin pada karo kanca kancane, ben rapote ana gambare, ben aja diomehi gurune ya uga kepengin weruh kayangapa foto kue, si tukang ngarit ya kepengin melu foto. Gandeng wong tuane si tukang ngarit anu wong buta huruf ora tau sekolah ora mudeng apa apa...ora peduli lan ora ngurusi bocah sekolah, ya si tukang ngarit kon lunga dewek...kue baen gole njaluk duit kanti nangis nangis lan diomehi lan digolet2na utangan disit. Ya sebab esih cilik urung tau lunga lunga adoh tur urung tau numpak angkot, ya rekane si tukang ngarit nembung njaluk tulung melu bareng karo kancane sing pada arep dianter nang wong tuane.
Wis janjian jere ulih melu mangkat bareng dina minggu, bareng wayahe arep mangkat,....eh....tekan nggone koh si tukang ngarit ditinggal, wong2 mau pada mangkat nggasiki ora gelem dipeloni, intine pada ngrekadaya ben si tukang ngarit aja bisa melu. Gole pada mangkat maring tukang foto maring kota koh pada nglimpe. Lha si tukang ngarit dilomboni jere pada ora sida mangkat...ning jebule dilimpe ben ora bisa duwe foto...ben diomehi gurune, ben wedi terus ben ora nerusna sekolahe... Si tukang ngarit ya sediiiih banget, mrebes mili, mingsek mingsek... nangis mbatin ( ningen ya langka wong sing peduli merga anake wong ora duwe, anake rakyat jelata sing rupa raga ora keropea lan busana ala kadarnya) Wis langka sing mbimbing, langka sing nggatekna, langka sing ngurus, langka sing nganter...lha koh gedene arep nunut melu ngetutna thok maring kota ben ora kesasar tur nganggo biaya dewek beh koh pada ora ulih...
Sadawane nangis mbatin, sedih, nelangsa ora karuan....alhamdulillah si tukang ngarit saking kersane GustiAllah ora terus kelara lara, ora mutung, ora dendam lan ora cilik ati utawa wedi, nanging malah kaya ana sing mbimbing, kaya ana sing nulung.. kaya ana sing nggered lan nyurung kon kendel... Mbuh kepriwe nalare si tukang ngarit kaya ana sing nuntun ( Astaghfirullah, subhanalloh, walhamdulillah, walaillahaillallohu wallohuakbar ) dadi ora wedi, gipyak enteng kayong ora krasa tur cepet banget tekan, mlaku dewek sekang desane menyang gili gede kecamatan sing jarake 4 kilometeran sedurunge ganti numpak angkot nglewati dalan aspal. Trus mbuh kepriwe koh kaya anu ora sadar si tukang ngarit ujug ujug wis numpak angkot lan bareng medun nang stanplat kota kabupaten ya kaya ana sing nuntun njujug maring toko studio foto, padahal urung tau menganah tur urung ngerti nggone. Lha bareng tekan tujuane...nang kono jegagik koh bisa ketemu karo kanca2ne sing agi pada didandani wong tuane sing pada nganter ben fotone anak2e apik. Si tukang ngarit rasane ya bungaaaaah banget, plong, lega cara ngingrise relieved....rasane dadi ayem, ora deg2an, ora wedi mbok kesasar ora bisa bali maning sebab rumangsa bisa ketemu kanca2 sing pancen dianter lan ditutna nang wong2 tuane.
Gandeng esih bocah cilik, si tukang ngarit ya ora jengkel utawa dendam walau nembe baen dilomboni utawa direkadaya ala. Bareng wis rampung gole pada foto2, ya mbuh iklhlas apa ora, mbuh sengit apa ora, mbuh kesuh apa ora, si tukang ngarit ya ora ngerti, baline ya tetep melu nginthil, nunut melu ngetut mburi kepengin bali bareng karo kanca2ne. Sedawane numpak angkot bali, ketone sih pada klintat klintut kaya kisinan lan mungkin ya pada gumun karo kenekadan lan kekendelane si tukang ngarit... Medun sekang angkot nang kecamatan, kanca2ne tukang ngarit ya pada ditumpakna dokar nang wong tuane tekan ndesane....ningen si tukang ngarit ya ora dikon melu. Si tukang ngarit ya ora apa apa , ora iri, ora nelangsa, tetep mlaku maning gipyak dewekan bali maring desane kanti bungah lan mantep baen sebab dalan bali nang desane wis apal lan ora wedi kesasar utawa ora wedi deculik sing jaman semana medeni critane....

Den Haag, 04 February 2008