Sunday 24 August 2008

A MUST DIE - CREATURE ... ( 2 ) ...

Puasa Itu Sederhana
Dalam rangka menggapai ketakwaan sebagai tujuan berpuasa, ada baiknya sesekali melakukan perenungan yang mendalam terhadap niat dan perilaku kita. Niat bukan hanya sekadar kemauan (wants, interest, desire), tetapi sebuah komitmen, sebuah akad yang mengilhami seluruh relung jiwa yang melahirkan kesungguhan (jihad), tekad dan nyala api yang tak pernah padam. Niat merupakan dorongan yang maha kuat, sebuah motivasi (berasal dari bahasa Latin, movere yang artinya bergerak keluar, senada dengan kata emovere, emosi) untuk mewujudkan seluruh harapan dalam bentuk tindakan. Kualitas pekerjaan seseorang sangat ditentukan oleh kualitas niatnya. Begitu juga dengan berpuasa. Kita diminta untuk memasang niat berpuasa, sebuah dorongan dan nyala api untuk melaksanakan puasa dalam arti yang utuh, yaitu ibadah yang bersifat personal dan sekaligus sosial. Bersifat personal, dikarenakan puasa merupakan bentuk pencerahan batin (Tarbiyatul Qolbi).
Hati yang telah tercerahkan akan berbinar cahaya (nur) sehingga dia mengetahui secara jelas (karena diterangi cahaya), mana yang hak dan mana yang batil. Puasa akan melahirkan kejujuran, amanah dan menumbuhkan semangat pelayanan (sense of servitude) yang sangat tinggi. Penghambaan dirinya kepada Allah yang dinyatakan setiap hari minimal 17 kali (iyyaka na'budu) diterjemahkannya dalam bentuk perilaku yang aktual dengan cara menunjukkan sikap pelayanan yang bertanggung jawab ( stewardship ). Ini semua bermula dari niat yang disertai dengan ilmu dan arah yang benar. Nabi bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan, akan diampuni dosa-dosanya." Dari hadis ini tampaklah bahwa iman merupakan dasar dipasangnya niat yang disertai ihtishab sebagai proses penelitian bahkan menguji diri sendiri (self examination). Sehingga, kualitas niat berpuasa akan melahirkan dua hal besar yang akan merubah sikap hidupnya. Pertama, niat berpuasa karena rasa cinta dan rindu yang teramat sangat untuk menghadirkan wajah Allah, sehingga mereka hanya memalingkan seluruh harapan dan tindakannya untuk selalu berpihak di jalan Allah (Al Shirath Al Mustaqiim). Kedua, mereka mewujudkan niatnya tersebut dalam bentuk sikap hidup sederhana bahkan melatih untuk hidup berkekurangan, sebagaimana doa Rasulullah: "... Yaa Allah, jadikanlah hamba kenyang sehari dan lapar sehari. Agar pada saat perut kenyang, hamba mau bersyukur, dan ketika lapar hamba menjadi orang yang sabar." Para assabiqqunal awwalun ( path finder ) menjadikan sikap hidup sederhana ( wara' ) sebagai hiasan perilaku hidupnya.
Pada suatu saat Umar bin Khattab ditanya, "Kenapa Anda makan gandum yang kasat dan berpakaian sangat sederhana. Dan Anda hanya minum air putih setiap hari, padahal Anda adalah Al Farouk-Pemimpin umat yang besar?" Umar bin Khattab menjawab: "Aku menjadi pemimpin ini dipilih oleh rakyat, di antara mereka masih banyak yang hidup sangat sederhana bahkan dalam keadaan miskin. Tidak pantas seorang yang dipilih rakyat, makan dan minum serta berpakaian melebihi rakyatnya!" Puasa telah melahirkan pribadi-pribadi yang berakhlak mulia ( noble paragon ). Puasa telah melahirkan tipikal para pemimpin masa lalu yang hidup sederhana bahkan berkekurangan, karena dia menjaga diri ( iffah ) agar tidak diperbudak oleh dunia.
Toto Tasmara/hikmah/republica.online/2008-08-15 14:56:00

Friday 8 August 2008

A MUST DIE - CREATURE ... ( 1 ) ...

Membangun Kepedulian

Apapun dan siapa pun tidak boleh kita remehkan karena kita tidak pernah tahu kapan kita akan terus berada di atas dan kapan kita akan berada di bawah. Awal membangun kepedulian bisa dengan menghilangkan superioritas dalam diri kita, bahwa kita punya sesuatu yang berlebih dari manusia yang lain, lalu dengannya kita berlaku semena-mena.
Kepedulian bisa dibangun melalui satu keyakinan bahwa kita adalah makhluk yang tak akan pernah bisa hidup sendiri, dan karenanya butuh kehadiran yang lain. Lalu dengan sikap ini kita bangun keutuhan kehidupan dengan saling memperhatikan. Inilah mungkin sebagian dari kunci untuk bisa menghargai dan peduli terhadap sesama. Kita sebagai manusia tentu berkehendak untuk disayang, maka sayangi yang lain. Kita sebagai manusia butuh diperhatikan, maka sudilah berbagi perhatian. Begitu seterusnya.
Berbicara mengenai kepedulian dan perhatian, ia menjadi karakter para nabi yang sulit dicari bandingannya. Contoh kisah Sulaiman AS, seorang nabi sepeninggal Nabi Daud. Sulaiman dikisahkan pernah begitu kehilangan Hud Hud, padahal Hud Hud hanyalah seekor burung kecil dan bukanlah dari golongan pembesar. Ketidakadaan Hud Hud dalam barisan yang sedang diperiksanya, membuat Nabi Sulaiman langsung mempertanyakan keberadaannya kepada yang lain. (QS: An Naml 27: 20-21). Di kemudian hari sejarah menunjukkan, ”burung kecil” itu mampu membawa perubahan yang begitu besar bagi kerajaan Nabi Sulaiman. Rasa terima kasihnya Hud Hud, karena telah diperhatikan Nabi Sulaiman, membuat Hud Hud rela mengabdikan dirinya bagi kemajuan kerajaan Nabi Sulaiman. Kisah dalam surat An Naml 27: 20-44, Hud Hud yang mengantarkan Nabiyallah Sulaiman hingga kemudian bertemu dengan Ratu Saba.
Sikap Nabi Sulaiman kepada Hud Hud menunjukkan kepada kita, perhatian akan menumbuhkan kasih sayang, perhatian akan menumbuhkan kepedulian. Kisah itu juga memberikan kesan mendalam bagi pendatangnya di kemudian hari, betapa kita tidak boleh menyepelekan apapun dan siapa pun. Kita bisa menjadi besar lantaran ada yang kecil, atau seseorang bisa menjadi kaya karena ada yang miskin. Semuanya saling melengkapi keberadaannya satu sama lain. Sikap yang diajarkan Nabi Sulaiman pun mengajarkan satu hal mendasar dalam membina hubungan antarsesama makhluk, apalagi sesama manusia, bahwa kebersamaan sering terbangun dari hal-hal yang kecil, termasuk muncul dari sebuah perhatian.
Teladan Nabi
Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang punya banyak sisi menarik yang bisa digali sehubungan dengan sikapnya yang memang penuh perhatian terhadap ummatnya. Muhammad adalah seorang nabi dan rasul terakhir, dia seorang pembesar. Tapi sebagaimana kita ketahui dari sejarah, beliau adalah orang yang selalu menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya. Termasuk hal kecil seperti menyapa. Baginya, yang terbaik adalah mereka yang memberi salam terlebih dahulu.(Al Hadits). Salah satu sisi menarik tersebut diceritakan, Rasul pernah ”kehilangan” seorang Yahudi, ketika beliau tidak dapati lagi Yahudi itu yang biasanya meludahinya di setiap keberangkatannya ke masjid. Selidik punya selidik, ternyata Si Yahudi sakit keras. Rasul lantas menjenguknya! Tidak ada sikap dendam. Bahkan dengan menjenguknya, Rasul ingin mengatakan ia berbeda dan ia tidak pantas untuk dijadikan musuh. Sikap luar biasa yang ditunjukkan Rasul tersebut, membuat Si Yahudi mengikrarkan kesaksiannya atas kebenaran ajaran yang Rasul bawa. Tidaklah salah jika Rasul pernah berpesan, bahwa berbuat baik kepada yang baik adalah suatu keharusan, tapi berbuat kebaikan kepada mereka yang jahat adalah tindakan yang sudah mencapai derajat ihsan, derajat kesempurnaan iman.(Al Hadits).
Perhatian Rasul kepada sesamanya adalah satu bagian yang tidak bisa terpisahkan ketika seseorang bercerita tentang kepribadian beliau. Hingga di akhir hayatnya, ia masih saja mengingat ummatnya, dan menitipkan pesan terakhirnya kepada sayyidatina Aisyah dan Ruhul Quds, Jibril, mengenai nasib ummat yang akan ditinggalkannya, ”... ummati, ummati, ummati..., ummatku... ummatku ... ummatku.” Oleh karenanya, beliau selalu menganggap mereka yang tidak pernah peduli kepada sesamanya dan tidak pernah mengulurkan tangan kepada orang yang membutuhkan adalah bukan bagian dari ummatnya dan juga bukan bagian dari orang-orang yang akan memperoleh perlindungan kelak di hari akhir, hari tiada perlindungan selain perlindungan Allah dan Rasul-Nya.
Kepribadian Nabi Sulaiman dan Nabi Muhammad ini, sangat sulit bisa kita temukan pada sikap sebagian besar pimpinan kita. Perhatian pimpinan kita, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi, adalah untuk diri mereka sendiri (mudah-mudahan saya salah), tak pernah mau berbagi untuk masyarakatnya. Mereka ini senantiasa terus meminta diperhatikan, jarang sekali mau memperhatikan. Seketika mereka bisa be frantic, kebakaran jenggot, jika eksistensi kedudukan dan jabatannya terganggu. Tapi bisa dengan sangat tenang, tidak pernah tergerak hatinya jika eksistensi kemanusiaan masyarakatnya terabaikan. Begitu jugalah sikap sebagian besar kita. Kita juga seringkali hanya memperhatikan mereka yang ”sekelas” saja. Seakan haram untuk peduli kepada lapisan yang lebih bawah. Kita juga tidak pernah show interest in any problem atas apa yang terjadi di seputar kita. Bencana demi bencana yang terjadi di belahan bumi pertiwi yang sedang menangis ini seakan justru menjadi tontonan seru di layar kaca. Kejadian demi kejadian menyedihkan -- kelaparan, kebanjiran, tanah longsor dan sebagainya -- yang seharusnya mengetuk mata hati dan pintu nurani, justru menjadi bacaan seru di media masa.Tumbuhkan semangat berbagi dan munculkan kepedulian dan kasih sayang. Karena begitu pulalah Allah, Tuhan kita, bersikap kepada kita.
Obat Mujarab
Dalam kaitannya dengan keluar dari kemelut hidup, kemampuan melihat mereka yang lebih di bawah, menjadi obat yang mujarab juga buat mengatasi kesedihan hidup. Banyak di antara kita yang merasa susah, karena mikirnya tentang kesusahan diri sendiri saja. Ketika ia bisa melihat kesusahan orang lain, akan tampaklah kesusahan dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Orang-orang yang ingin keluar dari kemelut hidup, juga harus mampu mensyukuri banyak-banyak hal-hal yang lebih yang dikaruniakan Allah kepadanya. Sebab kalau hanya melihat hal-hal yang menyedihkan, jangan-jangan dia hanya akan menyumpahi Allah atas kesedihannya. Ada terlalu banyak karunia Allah yang lain, yang harus lebih disyukuri. Insya Allah kemelut hidup tidak akan terasa. Banyak melihat ke bawah, dan banyak bersyukur, akan mempercepat diri keluar dari kemelut hidup.
Jika kepedulian sudah tidak ada di dalam hati kami, maka Engkau pun menjauh. Jika kasih sayang sudah tidak ada di dalam hati kami, maka Engkau pun menjauh. Jika kami tiada bersyukur kepada-Mu, tiada beribadah kepada-Mu, maka menjauh jugalah Engkau. Ya Allah, apalah lagi kerugian bagi seorang hamba, bila Engkau Yang Maha Membantu, sudah menjauh? Ya Allah, apalah lagi kerugian bagi seorang hamba, bila Engkau Yang Maha Mengasihi Maha Menyayangi, sudah menjauh? Ya Allah, apalah lagi kerugian bagi seorang hamba, bila Engkau Yang Maha Disembah, sudah menjauh? Rabb, jangan jauhkan kami dari diri-Mu. Amin.(77)

Kolom Ustad Yusuf Mansur
suaramerdeka.com: 08 Agustus 2008