Thursday 7 February 2008

INVISIBLE HANDS ... ( 1 ) ...

Seorang Bocah telanjang
dan burung-burung kecil..

Suatu sore di sebuah kampung di kaki perbukitan di Jawa Tengah bagian selatan, seorang anak kecil, sebut saja Si Hamba Sahaja ( Hamsa ) baru pulang mandi dengan adiknya di sungai dekat rumahnya yang sederhana. Dia berjalan pulang sambil berlari-lari kecil karena udara musim kemarau agak dingin dan bertiup keras. Sesekali dia membunyikan terompet tangan yang kadang belum bisa berbunyi sempurna, maklum karena dia baru berumur sekitar 3 tahun. Dia juga tidak mengenakan handuk atau baju hangat atau pakaian apapun. Maklum dia hanya anak orang desa petani biasa yang hidup sangat sederhana dengan ke sepuluh saudaranya yang lain. Mandipun dia tidak memakai sabun atau shampoo karena memang tidak mampu membeli. Dan kalaupun sempat sikat gigi ya hanya digosok dengan pasir sungai yang diambil langsung di dasar air.

Sesampainya di dekat rumah yang dikelilingi pagar hidup seperti pohon teh-tehan dan pohon-pohon bunga sepatu, dia digertak oleh beberapa kakaknya supaya tidak berlari atau bersiul atau berisik apapun karena mereka sedang mengejar-ngejar anak-anak burung Prenjak yang sedang mencari tempat untuk tidur dengan induknya karena memang sudah sore. Untuk menangkap burung-burung itu, mereka juga sudah memasang beberapa perangkap atau jerat, baik tali maupun getah pohon nangka. Karena sedang dikejar-kejar, suara burung-burung itu, terutama induknya, ramai sekali saling bersahut-sahutan. Kakak-kakak Si Hamsa juga tidak kalah ramainya saling mengejar dan memberi aba-aba, kadang diselingi umpatan kekesalan atau kekecewaan karena selalu gagal menangkap burung-burung itu. Kakak-kakak Si Hamsa jelas tidak membolehkan Si Hamsa ikut mengejar karena dianggap masih anak kecil belum tahu apa-apa, malah mereka menganggap si Hamsa hanya mengganggu atau menghalangi saja bila ikut nimbrung.

Si Hamsa hanya berdiri di tempat sambil menyaksikan aksi kejar-mengejar seperti dalam film-film action ( Si Hamsa baru tahu film setelah kelas 2 SMP nonton lewat TV hitam putih milik tetangga yang jam tayangnya sangat dibatasi karena takut lantainya kotor, dan kadang hanya curi-curi nonton lewat jendela yang kadang juga ditutup kordennya…. he he he ). Dan entah karena sudah capai atau kehilangan tenaga, burung-burung itu berhenti berbunyi, hanya sesekali masih terdengar suara anak-anak burung Prenjak itu mungkin memanggil-mangil induknya. Dengan semakin hilangnya suara burung-burung itu, kakak-kakak si Hamsa kelilangan jejak karena hari juga semakin sore dan penglihatan juga semakin susah karena warna burung-burung itu sama dengan warna daun-daun dan ranting-ranting pohon. Kakak-kakak Hamsa akhirnya hanya saling ‘maido’ dan saling menyalahkan. Dan dari cara mereka saling memandang, Si Hamsa bisa merasakan kekecewaan kakak-kakaknya karena gagal menangkap burung-burung kecil itu.

Dan tanpa disuruh, dengan maju mundur takut kalau digertak lagi atau dimarahi kakak-kakaknya, Si Hamsa berinisiatif ikut mencari burung-burung itu. Si Hamsa sama sekali belum pernah menangkap burung saat itu dan tidak mempunyai taktik atau strategi apapun untuk melumpuhkan binatang apapun, maklum masih kecil. …….. Dan seolah ada ‘invisible hands', yang menuntun dan membimbing, Si Hamsa langsung menuju pagar rumah di belakang dapur. Setelah mengamati beberapa saat di rerimbunan pohon bunga sepatu, yang bagi Hamsa cukup tinggi saat itu, Si Hamsa melihat anak-anak burung itu sedang hinggap berdampingan di ranting. Betapa girangnya si Hamsa karena ketika Hamsa mendekat, anak-anak burung itu tidak lari atau terbang, tetapi malah membuka-buka paruhnya sambil menyorong-nyorongkan kepalanya sambil mengeluarkan bunyi-bunyi manja. Si Hamsa semakin takjub ketika burung-burung itu tidak berontak saat tangan Si Hamsa memegang dan menangkapnya. Dan dengan penuh suka cita, Si Hamsa memanggil-manggil kakak-kakaknya kalau burung-burung itu sudah berhasil ditangkap. Tetapi……. Si Hamsa merasa kecewa karena keinginan untuk memelihara burung-burung itu ditolak mentah-mentah oleh kakak-kakaknya. Dan…. Si Hamsa malah sangat menyesal dan menangis sedih telah menangkap burung-burung yang indah dan lucu itu karena burung-burung itu ternyata malah… di…ba…kar…. dan… di…ma….kan… ra…ma..i… ra…ma…i… ( Walaupun sekarang Hamsa paham mungkin kakak-kakak Hamsa sesekali ingin makan yang mengandung protein hewani karena keluarga Hamsa saat itu memang dalam kondisi ‘under survival limits line’ ... )
Den Haag, 07 February 2008

No comments: