Friday 30 September 2016

Pemimpin Itu Melayani



Menjadi pemimpin tidak hanya menerima amanat rakyat, tapi juga menerima amanat Allah. Dengan begitu, para pemimpin itu pada hakikatnya adalah mereka yang berperan sebagai pelayan rakyat sesuai dengan iradah Allah swt. Pemimpin yang mengkhianati dan menodai hak rakyatnya, berarti menghujat dan mengabaikan amanat Allah.

Khalifah Umar bin Abdul Azis seringkali bekerja di malam hari menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan yang tidak sempat diselesaikannya di siang hari. Suatu ketika, putra beliau memasuki kamar kerjanya seraya berkata, ''Saya ingin membicarakan masalah pribadi dan keluarga yang sangat penting dengan Ayah.''

Mendengar ucapan putranya itu, Umar bin Abdul Azis lalu mematikan lampu minyak yang menerangi kamar kerjanya sehingga menjadi gelap gulita. Kemudian ia berkata kepada putranya, ''Anakku, engkau pasti heran kenapa aku matikan lampu ini. Ketahuilah, engkau datang untuk membicarakan urusan pribadi, sedangkan lampu minyak itu milik rakyat. Betapa kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak, ada pemimpin rakyat membicarakan masalah pribadi keluarganya sambil memakai fasilitas rakyat.''

Apa yang dilakukan Umar bin Abdul Azis adalah sikap adil seorang pemimpin yang membuktikan tanggung jawabnya sebagai pelayan umat dan sekaligus melaksanakan amanat dan kecintaan Allah yang telah memilihnya sebagai khalifah. Untuk tipikal pemimpin seperti itu, Rasulullah bersabda, ''Orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah berada di atas mimbar cahaya. Mereka itu adalah orang-orang yang berlaku adil dalam memberikan hukum kepada keluarganya dan kepada rakyatnya.'' (Bukhari Muslim) Alangkah indahnya hidup yang dibayangi oleh keteduhan Alquran dan Sunnah Rasulullah. Misi kepemimpinannya bukan untuk menampakkan raut wajah seorang 'penguasa' tetapi dia tampakkan hati nuraninya yang paling bening dan menyejukkan. Karena bagi dirinya: pemimpin itu adalah pelayan umat.

Menjadi pemimpin bukan mencari kekayaan, tetapi pengabdian. Menjadi pemimpin berarti melaksanakan ibadah yang paling berat untuk mengemban amanat rakyat dan Allah. Dia selalu membersihkan batinnya, karena dia sadar bahwa niat yang tidak lurus bisa menjadikan kekuasaan sebagai komoditas yang murah, dan bukan tidak mungkin tergoda untuk menipu atau membohongi rakyat demi kepentingan dirinya. Dalam hal yang terakhir ini, Rasulullah saw bersabda, ''Tiada seorang hamba yang diberi amanat Allah untuk memimpin rakyat kemudian menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan sorga baginya.'' (Bukhari Muslim).

Apabila keadaan masyarakat sudah sangat materialistis dan kemuliaan seseorang hanya diukur oleh berapa banyak harta yang dimilikinya, maka godaan yang paling besar bagi para pemimpin, birokrat, dan mereka yang diberi percikan kekuasaan tidak lain adalah godaan harta. Para pemimpin atau wakil rakyat yang lemah imannya, niscaya akan mudah terperangkap dalam penjara hawa nafsu yang dibungkus dengan kata-kata indah, yaitu mumpungisme, korupsi, dan kolusi. Penguasa dan pengusaha bersekongkol untuk mencari pembenaran (justifikasi) atas perbuatannya. Karena bagi dirinya, kebenarann itu adalah kebohongan yang disepakati. Na'udzubillahi min dzaalik! 
By Republika Newsroom
Kamis, 08 Juli 2009

1 comment:

nusares-publica said...

Das solennya memang seperti itu, tetapi das sein di negeri kita adalah: jika engkau berjwa dan bertindak sebagai pejuang, maka siapkan dirimu untuk dijadikan korban, sebaliknya jika engkau berjiwa dan bertindak sebagai pecundang, maka engkau akan dijadikan pahlawan.