Wednesday 5 October 2016

HASTA BRATA: JAVANESE PHILOSOPHICAL VALUES FOR LEADERS



Javanese culture actually contains many valuable life philosophies. One of them is Hasta Brata (Eight Acts of Self Control) lesson. It is actually a leadership theory containing matters symbolized with objects or conditions of the nature. The eight acts are symbolized with Surya (the sun), Candra (the moon), Kartika (the star), Angkasa (the sky), Maruta (the wind), Samudra (the ocean), Dahana (the fire), and Bhumi (the earth).

1. Surya (the sun); shining warmly, brightly, unconditionally and faithfully, the source energy and power of life. It symbolizes that a leader should have capability and quality to encourage, empower and motivate; ignite spirit, dignity, upholds and upright just, provides enlightenment and energizes the warmth, equality and faithfulness.
2. Candra (the moon), shining calmly and cool in the darkness, symbolizing that a leader should be able to bring and peace and harmony, cools down situations and conditions, soothes the tensions and temper, facilitate the solutions and reconciliations for any conflicts and hostilities, enlightens those who are in darkness, blindness, assists those who are in burdens and difficulties. .

3. Kartika (the star), twinkling and glittering up above the sky, symbolizing that a leader should be able to inspire the high standards, ideals, achievements, acts as guidance, advisers, and gives directions like compass which guides and leads to the right goals, targets, purposes and destinations, gives spirits and hopes for successes, triumphs, victory and glory.

4. Tirta (the water), always flows to the lower areas, wets the dry lands, the farms, rice fields, stimulates the trees, plants, bushes, grasses to grow and fruit. Fill the ditches, lakes, wells, rivers and let the fishes live and survive; provides freshness for the thirsty, rejoices for the stressed,  pleases for the disappointed, vents for the hanged and stuck, radiates and cools for the overheated.
5. Maruta (the wind), exists and presents everywhere, fills in the empty spaces regardless of the status and sizes of the places; brings the oxygen to breath; recharges the batteries of lives and recovers the exhausted; light and flexible; ready to listen and accommodate aspirations; relieves the pains and spreads the importance and meanings of closeness, co-existences, and co-operations of all roles and status in building the healthier, wealthier and happier lives.
6. Samudra (the ocean/water), being large, being flat in its surface, being fresh in nature. A leader shall love his people and able to give protection to them, treat them equally regardless of the status, backgrounds nor other subjective personal emotional reasons; playing role as the melting pot and the carriers and containers of people’s aspirations, wealth, health, welfare, joy, happiness place to get peace.

7. Dahana (the fire), being able to burn everything it touches. A leader shall have a power/authority and be brave enough to put truth in the first place.

8. Bhumi (the earth), being strong and generous, giving advantages/benefits to everyone who takes care of it. A leader shall be generous in serving his people so that they will not be disappointed.

Friday 30 September 2016

Pemimpin Itu Melayani



Menjadi pemimpin tidak hanya menerima amanat rakyat, tapi juga menerima amanat Allah. Dengan begitu, para pemimpin itu pada hakikatnya adalah mereka yang berperan sebagai pelayan rakyat sesuai dengan iradah Allah swt. Pemimpin yang mengkhianati dan menodai hak rakyatnya, berarti menghujat dan mengabaikan amanat Allah.

Khalifah Umar bin Abdul Azis seringkali bekerja di malam hari menyelesaikan tugas-tugas kenegaraan yang tidak sempat diselesaikannya di siang hari. Suatu ketika, putra beliau memasuki kamar kerjanya seraya berkata, ''Saya ingin membicarakan masalah pribadi dan keluarga yang sangat penting dengan Ayah.''

Mendengar ucapan putranya itu, Umar bin Abdul Azis lalu mematikan lampu minyak yang menerangi kamar kerjanya sehingga menjadi gelap gulita. Kemudian ia berkata kepada putranya, ''Anakku, engkau pasti heran kenapa aku matikan lampu ini. Ketahuilah, engkau datang untuk membicarakan urusan pribadi, sedangkan lampu minyak itu milik rakyat. Betapa kita harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak, ada pemimpin rakyat membicarakan masalah pribadi keluarganya sambil memakai fasilitas rakyat.''

Apa yang dilakukan Umar bin Abdul Azis adalah sikap adil seorang pemimpin yang membuktikan tanggung jawabnya sebagai pelayan umat dan sekaligus melaksanakan amanat dan kecintaan Allah yang telah memilihnya sebagai khalifah. Untuk tipikal pemimpin seperti itu, Rasulullah bersabda, ''Orang-orang yang berlaku adil, kelak di sisi Allah berada di atas mimbar cahaya. Mereka itu adalah orang-orang yang berlaku adil dalam memberikan hukum kepada keluarganya dan kepada rakyatnya.'' (Bukhari Muslim) Alangkah indahnya hidup yang dibayangi oleh keteduhan Alquran dan Sunnah Rasulullah. Misi kepemimpinannya bukan untuk menampakkan raut wajah seorang 'penguasa' tetapi dia tampakkan hati nuraninya yang paling bening dan menyejukkan. Karena bagi dirinya: pemimpin itu adalah pelayan umat.

Menjadi pemimpin bukan mencari kekayaan, tetapi pengabdian. Menjadi pemimpin berarti melaksanakan ibadah yang paling berat untuk mengemban amanat rakyat dan Allah. Dia selalu membersihkan batinnya, karena dia sadar bahwa niat yang tidak lurus bisa menjadikan kekuasaan sebagai komoditas yang murah, dan bukan tidak mungkin tergoda untuk menipu atau membohongi rakyat demi kepentingan dirinya. Dalam hal yang terakhir ini, Rasulullah saw bersabda, ''Tiada seorang hamba yang diberi amanat Allah untuk memimpin rakyat kemudian menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan sorga baginya.'' (Bukhari Muslim).

Apabila keadaan masyarakat sudah sangat materialistis dan kemuliaan seseorang hanya diukur oleh berapa banyak harta yang dimilikinya, maka godaan yang paling besar bagi para pemimpin, birokrat, dan mereka yang diberi percikan kekuasaan tidak lain adalah godaan harta. Para pemimpin atau wakil rakyat yang lemah imannya, niscaya akan mudah terperangkap dalam penjara hawa nafsu yang dibungkus dengan kata-kata indah, yaitu mumpungisme, korupsi, dan kolusi. Penguasa dan pengusaha bersekongkol untuk mencari pembenaran (justifikasi) atas perbuatannya. Karena bagi dirinya, kebenarann itu adalah kebohongan yang disepakati. Na'udzubillahi min dzaalik! 
By Republika Newsroom
Kamis, 08 Juli 2009

Monday 22 August 2016

MALAIKAT DI DALAM DIRI


“Ia yang di dalamnya cahaya akan berjumpa cahaya di mana-mana”
Kerinduan mendalam akan tokoh yang layak ditauladani, itu salah satu bentuk kerinduan generasi muda di zaman ini. Jika di negara-negara berkembang manusia kekurangan tokoh bisa dimaklumi. Namun jika di negara maju yang makmur juga kelangkaan tokoh, sungguh itu sebuah kesedihan mendalam.
Seorang sahabat yang berhati indah sempat terkejut tatkala pertama kali mendengar kalau ada calon presiden dari Amerika Serikat yang menggunakan ancaman terhadap agama orang lain sebagai tema kampanye. Amerika Serikat sudah lama menjadi pemimpin terdepan dalam hal demokrasi dan hak-hak azasi manusia, namun bagaimana mungkin di sana ada ancaman terhadap agama orang lain di depan publik?

Suka tidak suka, itulah putaran zaman. Ia adalah masukan terang benderang kalau tersedia semakin sedikit tokoh tauladan di mana-mana. Ia juga menjadi masukan terang benderang kalau tersedia semakin sedikit cahaya di luar. Sekaligus menjadi sebuah undangan untuk menemukan cahaya di dalam.
Belajar dari para sahabat yang membuka rahasia dirinya di sesi-sesi meditasi, banyak sekali manusia yang teramat rindu akan orang tua yang penyayang, rindu saudara dekat yang mau menerima, atau rindu sahabat dekat yang mau mendengarkan. Ia semacam kerinduan akan hadirnya cahaya.
Sedihnya, semakin keras para sahabat meminta orang-orang di luar untuk menyayangi, memaafkan, mendengarkan, semakin mereka kecewa karena harapan mereka tidak pernah kunjung datang. Orang tua sudah sangat berat dengan beban tubuhnya yang menua. Saudara dekat sudah berat menggendong beban keluarganya. Lebih-lebih para sahabat yang tidak memiliki hubungan darah. Belum apa-apa mereka sudah takut ketularan.
Semua pengalaman ini membimbing banyak sahabat pada sebuah pilihan yakni menemukan malaikat penyelamat di dalam diri. Tidak mudah tentu saja. Namun tidak ada pilihan lain. Di zaman yang demikian gelap ini, cahaya di dalamlah yang paling bisa diandalkan.
Sebagai langkah permulaan, sangat-sangat disarankan untuk belajar memaafkan diri sendiri. Segelap apa pun masa lalu, selalu sehat untuk memaafkan diri sendiri. Memaafkan bukan tanda jiwa yang lemah. Sebaliknya, memaafkan adalah piala bagi jiwa-jiwa yang sangat kuat. Hanya ia yang kuat yang memiliki kemampuan untuk memaafkan.
Setelah memaafkan diri sendiri, indah kalau bisa belajar untuk melihat sisi-sisi berkah dari semua musibah. Berkahnya orang tua tidak peduli, ia membuat seseorang jadi mandiri. Berkahnya saudara dekat yang tidak bersahabat, mereka mengajarkan untuk selalu rendah hati. Berkahnya atasan pemarah, ia membuat kita untuk semakin sabar dari hari ke hari.
Begitu benih-benih cahaya di dalam mulai muncul karena ketekunan memaafkan dan menerima, bagus kalau belajar banyak tersenyum. Senyuman tidak saja menjadi jembatan penghubung dengan orang-orang di luar, senyuman juga jembatan penghubung dengan jiwa yang bersemayam di dalam.
Siapa saja yang tekun dan tulus berlatih seperti ini, suatu hari keadaan miskin tokoh di luar tidak saja tidak menganggu, tapi juga menghadirkan niat mulya untuk menjadi cahaya penerang bagi banyak orang. Meminjam dari Bunda Teresa, kata-kata indah yang tulus memang sangat pendek, namun pengaruhnya bisa sangat panjang.
“Senyuman adalah sejenis malaikat yang membimbing Anda ke mana pun Anda pergi”
Author: Gede Prama (copied 22-08-2016)

THE WALKING CANDLES 


“Kegelapan yang berjalan”, itu salah satu ciri sahabat yang resah dan gelisah. Logika tidak memberikan jawaban memuaskan, rasa juga serupa. Saran orang lain meragukan, pendapat keluarga mencurigakan. Orang-orang dekat terlihat tidak bersahabat, orang-orang jauh apa lagi. Akibatnya mudah ditebak, semua arah miskin cahaya. Semua langkah menuju arah yang berbahaya.
Dan mengacu pada ramalan WHO (organisasi kesehatan dunia) yang meramalkan kalau mulai tahun 2020 sakit mental akan lebih berbahaya dibandingkan sakit fisik, kuantitas dan kualitas manusia yang di dalamnya gelap tampaknya akan terus bertambah. Ada yang menyebut ini beban, ada juga yang menyebut ini kesempatan.
Di jalan-jalan cahaya, hadirnya kegelapan di sana-sini adalah bel kosmik yang mengundang sebanyak mungkin manusia untuk menjadi pembawa cahaya. Dengan kata lain, ini adalah kesempatan untuk memancarkan cahaya. Bukannya bel kematian bagi pembawa-pembawa cahaya.

Mengacu pada cerita banyak sahabat yang membuka rahasia dirinya di sesi-sesi meditasi, salah satu ciri jiwa yang gelap di dalamnya adalah terlalu sedikit dipuji sejak kecil. Sebaliknya malah terlalu sering dihakimi dan dimaki. Penghakiman keluarga dan lingkungan inilah yang membuat tidak sedikit manusia yang mengunci rapat-rapat ruang jiwanya di dalam sehingga terus menerus gelap.
Itu sebabnya, bisa dipahami kalau pemikir humanis bernama Dale Carnegie pernah mewariskan pesan, pujian bukanlah perkara kecil. Asal dilakukan secara tulus dan halus, dalam kuantitas dan kualitas yang pas, pujian bisa menghadirkan cahaya indah ke ruang gelap orang-orang. Sering terjadi, pujian kecil yang pas dan ringkas bisa membuat seseorang bahagia sepanjang hari.
Terinspirasi dari sini, jangan pernah pelit dengan pujian. Pujian tidak saja gratis, tapi juga bisa menyelamatkan banyak sekali jiwa yang sedang gelap. Pekerjaan rumahnya kemudian, bagaimana melatih diri agar bisa memberikan pujian secara tepat sekaligus menyentuh.
Sejujurnya, setiap jiwa itu unik. Jika statistik mau membuang keunikan melalui pendekatan rata-rata, dalam hubungan antarmanusia justru keunikan itulah jendela dari mana seseorang bisa berbagi cahaya. Oleh karena itu, selalu perhatikan ciri-ciri unik namun positif dari setiap orang yang dijumpai.
Sebagian wanita suka dengan hal-hal yang berbau kecantikan. Jika suatu hari Anda menemukan teman wanita habis potong rambut, serta terlihat potongan rambutnya menarik, tidak ada salahnya berucap seperti ini: “potongan rambutnya bagus, potong rambut di mana?”. Atau jika lips sticknya berwarna indah, bagus kalau Anda melihat bibirnya sambil bergumam pelan: “lips sticknya merk apa?”.
Jika sebagian wanita suka kecantikan, sebagian pria lebih mudah membuka jendela jiwanya kalau lawan bicaranya mengerti kebanggaan-kebanggaanya. Seorang sahabat pria yang mulai menua suka sekali bercerita tentang pengalamannya naik kapal pesiar. Jika ia diajak berbicara kapal pesiar, ia bisa bercerita berjam-jam tanpa henti.
Melalui pendekatan seperti ini, kecerdasan untuk memuji orang secara pas dan khas bisa membuat Anda menjadi lilin berjalan. Setiap pertanyaan dan pujian menghadirkan kilatan-kilatan cahaya ke dalam ruang-ruang gelap orang lain. Dan ia tidak saja membuat jiwa orang lain jadi terang, tapi juga membuat jiwa Anda tambah indah dari hari ke hari.
Penulis: Gede Prama (copied 22-8-2016)

Friday 7 August 2015

Lima Tarbiyah Harian



5 (LIMA) TARBIYAH HARIAN
Jaga dan Tingkatkan (JATI):
                                     
1. Kerapian, kerajinan dan kebersihan                    lingkungan sekolah   
 
2. Toleransi, kekompakan dan kebersamaan           warga sekolah.
3. Keamanan, keselamatan  dan martabat diri dan lembaga sekolah.
4. Determinasi, semangat dan motivasi belajar untuk berprestasi, maju dan sukses.

5. Silaturahmi, koordinasi dan komunikasi antar warga sekolah